Mengkaji Penerapan SPU Di Universitas Negeri Jakarta Melalui Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Mengkaji Penerapan SPU di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melalui Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Penulis: bung Arthur Lasido (Kabid. Organisasi Komisariat GMNI UNJ) - Mahasiswa Sastra Inggris
Latar Belakang Permasalahan SPU
Dua
tahun belakangan ini, mahasiswa-mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ),
diramaikan dengan adanya wacana pemberlakuan Sumbangan Pengembangan Universitas
(SPU) bagi calon mahasiswa yang hendak mendaftar melalui jaur penmaba, atau
dikenal juga sebagai jalur mandiri. Sontak,
penerapan SPU ini menuang penolakan keras dari pihak mahasiswa UNJ yang melihat
hal ini sebagai bentuk dari komersialisasi pendidikan di lingkungan Perguruan
Negeri Tinggi. Bagi para mahasiswa, kebijakan SPU ini juga dikawatirkan
membangun sebuah konsepsi di masyarakat bahwa ada biaya “ekstra” yang harus
dibayar apabila ingin mendaftar melalui jalur mandiri (Fanugg, 2020).
Pihak
kampus sendiri sebenarnya sudah memberi penjelasan melalui sebuah artikel pada
tahun 2019 lalu. Artikel yang diunggah pada laman resmi UNJ itu pun mencoba
untuk meyakinkan segenap civitas Universitas Negeri Jakarta bahwa SPU bersifat
murni sukarela. Tidak ada paksaan bagi peserta jalur penmaba untuk memberi
sumbangan guna lolos via jalur mandiri (FAN, 2020).
Akan
tetapi, belakangan ini pihak kampus mewacanakan adanya 6 prodi favorit yang
menjadi target penerapan SPU dengan nominal sumbangan Rp5.000.000,00
(Redaksi304, 2020). Tentunya, penerapan kebijakan SPU ini tidak hanya mengingkari
janji kampus mengenai sifat SPU yang seharusnya murni diberikan secara sukarela.
Melainkan, kebijakan ini juga menimbulkan kesan elitisme; seolah-olah untuk
dapat mengenyam pendidikan tinggi di salah satu prodi favorit, orang tua atau
wali haru rela merogoh kocek sebesar lima juta rupiah.
Golongan SPU
|
Pilihan
Nominal SPU
|
Golongan
I, terdiri dari Terdiri dari program studi di Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas
Bahasa dan Seni,
Fakultas Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Olahraga, Fakultas Ekonomi. Terkecuali program
studi Manajemen, Ilmu Komunikasi, Akuntansi, dan Sastra Inggris.
|
·
Rp.0
·
Rp.750.000,00
·
Rp.3.000.000,00
·
Rp.6.000.000,00
·
Rp.9.000.000,00
|
Golongan II Terdiri dari program studi di Fakultas Teknik, dan Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Terkecuali program studi Ilmu Komputer.
|
·
Rp.0
·
Rp.750.000,00
·
Rp.5.000.000,00
·
Rp.15.000.000,00
|
Golongan III terdiri dari program studi
favorit, yaitu; Manajemen, Ilmu Komunikasi, Psikologi, Akuntansi, Sastra
Inggris, dan Ilmu Komputer.
|
·
Rp.5.000.000,00
·
Rp.10.000.000,00
·
Rp.15.000.000,00
|
Dapat
dikatakan, kebijkan SPU ini memberi kesan bahwa hanya yang memiliki kemampuan
finansial yang mempuni bisa masuk prodi-prodi favorit tersebut via jalur
mandiri. Kesan itu pun makin diperkuat dengan adanya penggolongan pilihan dana
“sumbangan” di setiap prodi. Seolah-olah membagi calon mahasiswa jalur mandiri
berdasar kemampuan finansial mereka.
Terlebih
lagi, di tengah masa pandemi ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
mengestimasi sekitar 2 juta tenaga kerja
buruh Indonesia mengalami PHK (Ramadhani, 2020). Bisa saja ada orang tua atau
wali dari calon mahasiswa prodi favorit jalur mandiri yang juga terkena PHK dan
kesulitan untuk membayar SPU sebesar lima juta rupiah. Jangankan di masa
Pandemi COVID-19, di kala kondisi perekonomian masih relatif normal saja,
agaknya banyak orang tua yang kesulitan membayar kontan biaya SPU sebesar itu.
Mempertanyakan Landasan Hukum SPU
Pada
artikel yang menjelaskan alasan penerapan SPU, pihak kampus juga bersikeras bahwa
kebijakan ini sudah sejalan dengan peraturan yang berlaku perihal penarikan
biaya sumbangan di lingkungan kampus. Akan tetapi, Pasal 7 ayat (1)
Permenristekdikti 39/2017 menyatakan bahwa hal-hal seputar proses perkuliahan
yang tidak ditanggung oleh pihak kampus melalui biaya UKT adalah:
1. Biaya
singgah, yaitu mencakup biaya sewa kost, kontrakan attau asrama selama
mahasiswa menjalani proses perkuliahan.
2. Biaya
keperluan pribadi, yang bisa ditafsirkan sebagai biaya makan sehari-hari serta
keperluan lainnya.
3. Biaya
pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
4. Biaya
kegiatan belajar mandiri (Bernadetha, 2019).
Berdasarkan
regulasi ini, jelas biaya pengadaan maupun pengembangan fasilitas kampus masih
berada dalam cakupan pembiayaan UKT. Agaknya kurang tepat jika biaya
pengembangan universitas dibebankan pada calon mahasiswa jalur mandiri.
Terlebih lagi, penetapan Uang Kuliah
Tunggal ini sejatinya merupakan upaya untuk memberi keadilan dalam mengenyam
pendidikan tinggi (Cahyadi, 2013). Tindakan kampus yang secara sepihak
menetapkan SPU ini tentunya menciderai rasa keadilan yang menjadi landasan
penetapan UKT tersebut.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Perihal Fungsi Dunia Pendidikan
Berdasarkan sebuah
makalah berjudul Konsep Pendidikan Ki
Hadjar Dewantara dan Tantangan Implementasinya Dewasa Ini karya Bartolomeus
Samho, SS, M.Pd dan Oscar Yasunari, SS, MM dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Universitas Katolik Parahyangan Bandung yang diterbitkan pada tahun 2010. Ki
Hadjar Dewantara adalah seorang sosok humanis yang memperjuangkan kesempatan
nan setara bagi rakyat terlepas dari latar belakang sosial dan finansial.
Adapun lembaga edukasi yang
menyelenggarakan pendidikan bagi rakyat tidak boleh berorientasi hanya pada
keuntungan belaka. Melainkan harus bisa memerdekakan individu secara fisik dan
spiritual. Merdeka secara fisik dan spiritual di sini maksudnya adalah
kemampuan bagi siswa untuk mendapatkan modal edukasi dan mental yang kemudian
hari mampu membantu dirinya untuk meraih kesejaterahan sosial.
Selain
itu, beliau juga menekankan pentingnya membangun rasa Nasionalisme melaui
pendidikan. Nasionalisme yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara bukan lah
Nasionalisme nan sarat akan rasa chauvinistik. Akan tetapi, Nasionalisme sebagai
platform dalam dunia pendidikan untuk membangun solidaritas dan semangat gotong
royong terlepas dari perbedaan etnis dan kondisi finansial.
Terlebih
lagi, beliau menggaungkan pesan solidaritas dalam dunia pendidikan ini kala
pendidikan tinggi masih terbatas bagi kaum ningrat dan saudagar. Apa yang
diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mulia, namun juga berani
melawan arus. Tentunya kiprahnya dalam mewujudkan pendidikan nan ideal patut
menjadi contoh bagi kita semua.
*Tiga
poin pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan yang memerdekakan.
Menjadi Manisfestasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara di Saat Krisis Pandemi
Pemikiran
Ki Hadjar Dewantara bukan lah hanya teori yang tertuang dalam bentuk runtaian
kata dan kalimat. Melainkan, pemikiran –pemikiran beliau mengenai lembaga
pendidikan dengan orientasi Nasionalisme dan pemerataan kesejaterahan sosial
harusnya dapat menjadi sebuah inspirasi, atau bahkan falsafah bagi kita,
mahasiswa di masa kini.
Terlebih lagi jika kita membangun
sebuah pararel antara perjuangan Ki Hadjar Dewantara dengan keadaan saat ini.
Dulu beliau dihadapkan dengan fakta bahwa sebagian besar penduduk
Hindia-Belanda masih terjebak dalam kemiskinan dan tak mampu meraih pendidikan
tinggi.
Pendidikan
“sekolah rakyat” pemerintahan Hindia-Belanda untuk rakyat biasa hanya sebatas
pendidikan dasar yang paling hanya mempersiapkan peserta didik untuk pekerjaan
adsminitratif dasar. Meskipun tak bisa dipungkiri ini bisa dilihat sebagai kemajuan
dari zaman Feudal Nusantara, di mana birokrasi rendah sekalipun biasanya
diduduki oleh orang-orang dekat keluarga bangsawan setempat.
Kini di tengah masyarakat diguncang
dengan hebat oleh krisis finansial selama pandemi COVID-19, pihak kampus justru
menerapkan SPU bagi calon mahasiswa jalur mandiri. Terlebih lagi bagi camaba
mandiri prodi favorit yang harus bersedia memberikan uang minimal sebesar Rp.
5.000.000,00. Kebijakan ini tak jauh berbeda dengan kebijakan pemerintahan
Hindia-Belanda dalam membatasi pendidikan lanjut bagi kaum elit ketika
kebanyakan rakyat bergumul dengan ekonomi sulit. Bedanya sekarang, ekonomi
rakyat diguncang oleh COVID-19, sedangkan kebijakan elitisme dipermanis dengan
kata-kata “sumbangan” serta “pengembangan”.
Selain
itu, kebijakan seperti ini bukan saja membentuk elitisme bagi prodi-prodi
favorit ini. Akan tetapi, hal ini juga seakan menemmpatkan sekat antara camaba
yang mampu secara finansial untuk dan mereka yang tidak. Tujuan pendidikan
lanjut, sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, adalah memberikan
kesempatan bagi semua peserta didik menempuh pendidikan lanjut guna meraih kemerdekaan diri, baik secara finansial
maupun intelektual. Bukan hanya sekadar memberikan edukasi bagi mereka yang mampu.
Kondisi Negeri ini jauh dari kata normal atau stabil. Di saat-saat genting
seperti ini, lembaga-lembaga edukasi harusnya bisa menjukan rasa prihatin dan
solidaritas dengan mengurangi biaya kuliah. Nyatanya pihak kampus justru
menggiatkan isu SPU yang jelas tidak menunjukan rasa solidaritas, melainkan
membentuk kesan elitisme.
Oleh
karena itu, mahasiswa-mahasiswi UNJ, para akademisi muda kampus pendidikan yang
menjadi pewaris semangat Taman Siswa sudah seharusnya menentang penerapan SPU.
Karena kebijakan SPU ini jelas bertentangan dengan semangat warisan Taman Siswa
dan menghadirkan komersilisasi di Pergruan Tinggi Negeri.
Referensi
Azanella,
Ayu Lufthia. (05 Juni 2020). Berikut 4
Skema Keringanan Pembayaran UKT Saat Pandemi COVID-19. https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/05/144500265/berikut-4-skema-keringanan-pembayaran-ukt-saat-pandemi-covid-19?page=1
Cahaya,
Rudy. (25 Juni 2013). UKT, Sebuah
Distorsi Terhadap Akses Pendidikan Tinggi. Detik. https://news.detik.com/opini/d-2283196/ukt-sebuah-distorsi-terhadap-akses-pendidikan-tinggi
FAN.
(21 Juli 2019). Penjelasan Menganai
Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) UNJ 2019. Universitas Negeri
Jakarta. http://www.unj.ac.id/penjelasan-mengenai-sumbangan-pengembangan-universitas-spu-unj-2019/
Fanugg.
(13 Juni 2020). Penerapan SPU di UNJ,
Mahasiwa Fakultas Ilmu Sosial Sepakat
Menolak!. Klikanggran. https://klikanggaran.com/komunitas/penerapan-spu-di-unj-mahasiswa-fakultas-ilmu-sosial-sepakat-menolak.html
Komentar
Posting Komentar